ACEH - "Maaf, presiden tidak punya tongkat Nabi Musa,” ujar Presiden Prabowo Subianto saat meninjau banjir bandang di Bener Meriah, Aceh.
Ucapan itu terdengar rendah hati, seolah mengakui keterbatasan manusia di hadapan bencana.
Namun jika ditelisik lebih dalam, pernyataan ini menyimpan bahaya: ia bisa menjadi tameng retoris untuk menutupi kegagalan struktural dalam kebijakan mitigasi dan tata kelola lingkungan.
Di masa Nabi Musa, tongkat adalah simbol mukjizat—alat ilahi untuk membelah laut, menundukkan tirani, dan menyelamatkan umat.
Tapi zaman telah berubah. Sejak kenabian ditutup oleh Muhammad SAW, Tuhan tidak lagi menurunkan mukjizat, melainkan menganugerahkan akal dan sains sebagai warisan kolektif umat manusia.
Maka, jika presiden hari ini tidak punya tongkat Musa, ia justru wajib menggenggam tongkat sains.
Indonesia bukan negeri yang buta risiko. Kita punya peta rawan bencana, data curah hujan, citra satelit, dan kajian ilmiah tentang dampak deforestasi. Kita juga punya prinsip: keselamatan warga negara adalah hukum tertinggi.
Kita tahu bahwa pembukaan hutan untuk sawit memperparah banjir. Kita tahu bahwa pembangunan di zona patahan memperbesar risiko gempa.
Kita juga tahu bahwa pemotongan anggaran mitigasi adalah perjudian terhadap nyawa rakyat.
Maka ketika bencana datang, bukan karena presiden tak punya tongkat, tapi karena tongkat sains diletakkan di laci birokrasi.
Lebih dari itu, pernyataan presiden justru mengaburkan siapa yang sesungguhnya memegang kuasa.
Dalam sistem demokrasi, presiden bukan nabi, tapi ia pemegang mandat rakyat, pengelola anggaran, dan penentu arah pembangunan.
Ia bukan Musa, tapi ia bisa memilih untuk tidak menjadi Firaun, Qarun, atau Haman—tiga arketipe kekuasaan yang dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai simbol kesombongan, kerakusan, dan manipulasi.
Firaun menolak peringatan alam. Qarun menumpuk kekayaan dan menertawakan peringatan. Haman membangun menara kekuasaan di atas tanah yang rapuh.
Ketiganya binasa bukan karena kurang mukjizat, tapi karena menolak kebenaran yang sudah terang.
Hari ini, kebenaran itu bernama data. Ia hadir dalam laporan IPCC, dalam peta BNPB, dalam riset LIPI, dalam suara warga yang tenggelam di tengah malam.
Menutup mata dari semua itu, lalu berkata “kami tak punya tongkat”, adalah bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab moral dan konstitusional.
Presiden memang tidak dituntut menjadi nabi. Tapi ia dituntut untuk tidak mengabaikan ilmu. Ia tidak diminta membelah laut, tapi cukup membuka jalan bagi kebijakan yang berpihak pada keselamatan rakyat dan kelestarian bumi.
Ia tidak perlu menurunkan hujan, cukup memastikan hutan tidak ditebang sembarangan. Ia tidak harus mengusir banjir dengan mukjizat, cukup dengan tidak memangkas anggaran mitigasi seperti yang terjadi di nasional, juga dicontoh oleh daerah.
Tongkat Musa adalah simbol. Tapi sains adalah alat nyata. Dan di tangan pemimpin yang bertanggung jawab, alat itu bisa menyelamatkan lebih banyak jiwa.
Editorial ini tidak ditulis dalam keadaan marah, melainkan dalam batin kecewa, karena yang ditunggu adalah intruksi tegas untuk lebih cepat menuntaskan misi penyelamatan, disertai dukungan anggaran.
Sebab, sekali lagi ini level bencana nasional, bukan sebatas bencana daerah. Dan, ketika warga lebih sigap membantu warga, maka jangan pertanyakan bila negara tak dihiraukan lagi. @Penulis Risman Rachman
