KUPANG – Tim Penasihat Hukum 22 terdakwa perkara penganiayaan yang menewaskan Prada Lucky Namo secara tegas menolak permohonan restitusi yang diajukan Oditur Militer dalam surat tuntutannya.
Penolakan tersebut disampaikan dalam nota pembelaan (pleidoi) yang dibacakan pada persidangan di Pengadilan Militer III-15 Kupang, yang berlangsung pada Rabu–Kamis (17–18/12/2025).
Dalam tuntutannya, Oditur Militer membebankan restitusi kepada 22 terdakwa berdasarkan pengajuan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Restitusi tersebut diajukan dalam tiga berkas perkara, yakni Perkara Nomor 40-K/PM.III-15/AD/X/2025 sebesar Rp561.128.860, Perkara Nomor 41-K/PM.III-15/AD/X/2025 sebesar Rp544.625.070, dan Perkara Nomor 42-K/PM.III-15/AD/X/2025 sebesar Rp544.625.070.
Total nilai restitusi yang dibebankan kepada 22 terdakwa senilai Rp1.650.379.000,00 (satu miliar enam ratus lima puluh juta tiga ratus tujuh puluh sembilan ribu rupiah).
Adv. Yavet Alfons Mau.,S.HPenolakan terhadap restitusi tersebut menuai respons keras dari Penasihat Hukum keluarga korban, Advokat Yafet Alfonsus Mau., S.H, yang akrab disapa Advokat Oscar.
Ia menegaskan bahwa restitusi bukanlah kebijakan opsional atau bentuk belas kasihan, melainkan hak hukum korban yang dijamin oleh Undang-undang.
“Restitusi adalah hak konstitusional korban tindak pidana. Itu hak untuk memperoleh ganti kerugian, baik materiil maupun immateriil, yang dibebankan kepada terdakwa sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana sekaligus pemulihan hak korban. Restitusi tidak bisa dinegoisakan” tegas Adv Oscar, Sabtu (20/12/2025) di Kupang.
Advokat Oscar mempertanyakan dasar hukum penolakan restitusi yang disampaikan Tim Penasihat Hukum ke-22 terdakwa.
Menurutnya, dalam hukum, tidak terdapat norma yang memberikan ruang bagi terdakwa untuk menolak restitusi yang telah diajukan secara sah oleh LPSK melalui Oditur Militer.
Ia menegaskan bahwa pengaturan mengenai restitusi telah diatur secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Selain itu, mekanisme, tata cara, serta ruang lingkup restitusi juga diperkuat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
“Bahkan Mahkamah Agung telah mengatur lebih teknis melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Restitusi dan Kompensasi bagi Korban Tindak Pidana. Artinya, restitusi ini bukan produk tafsir sepihak oditur, tetapi perintah undang-undang,” jelas Adv Oscar.
Lebih lanjut, Pria berdarah Rote ini menyebutkan bahwa dalam perkara ini LPSK telah melakukan penilaian kerugian secara profesional dan terukur, sebagaimana tertuang dalam Keputusan LPSK Nomor: A.0672.R/KEP/SMP-LPSK/XI Tahun 2025 tentang Penilaian Ganti Rugi.
Penilaian tersebut mencakup kerugian ekonomi, biaya pengobatan, penderitaan psikis, hingga dampak jangka panjang yang dialami keluarga korban akibat peristiwa pidana.
“Restitusi bukan sekadar soal angka. Ini adalah instrumen keadilan yang bertujuan memulihkan martabat dan hak-hak korban. Menolak restitusi sama saja dengan menafikan penderitaan korban dan keluarganya,” tegas Advokat Oscar yang juga menjabat Sekretaris DPD P3HI NTT ini.
Adv Yusak Langga.,S.HHal senada juga ditambahkan oleh Advokat Yusak Langga.,S.H yang juga tergabung dalam Tim Kuasa Hukum keluarga Almarhum Prada Lucky Namo.
Advokat Yusak mengingatkan bahwa dalam perspektif hukum pidana, korban diposisikan sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan.
Oleh karena itu, restitusi merupakan bagian integral dari sistem peradilan pidana yang berorientasi pada keadilan substantif.
Menurutnya, apabila penolakan restitusi tersebut dikabulkan oleh majelis hakim tanpa dasar hukum yang kuat, hal itu berpotensi mencederai semangat perlindungan korban yang selama ini diperjuangkan melalui reformasi hukum pidana nasional.
“Penolakan itu, jika tidak disertai argumentasi yuridis yang sah, justru bertentangan dengan asas kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Hak korban tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan terdakwa,” tandas Advokat Yusak Langga.
Ia pun berharap Majelis Hakim Pengadilan Militer III-15 Kupang dapat menilai secara objektif dan komprehensif permohonan restitusi tersebut, dengan menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam memutus perkara.
“Putusan yang adil bukan hanya soal menjatuhkan pidana kepada pelaku, tetapi juga memastikan hak-hak korban dipulihkan secara layak dan bermartabat,” pungkas Advokat Yusak Langga., S.H yang juga menjabat sebagai Ketua DPD P3HI NTT ini. @*tim


